Terdapat keyakinan umum bahwa Abad XXI memerlukan kecakapan berpikir aras tinggi — lidah orang Indonesia lazim dan fasih sekali mengucapkannya dengan istilah: hots, higher order thinking skills. Lembaga, organisasi, dan komunitas internasional dan nasional sepakat mengaminkan kepusatan kecakapan berpikir aras tinggi ini. Lebih-lebih lembaga pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia, telah menjadikan kecakapan berpikir aras tinggi sebagai sumsum keyakinan yang akan mempersembahkan kesuksesan dan keunggulan.
Tampaknya di Indonesia penafsiran dan pemaknaan kecakapan berpikir aras tinggi tersebut menggunakan model berpikir kognitif yang dikemukakan oleh Benyamin S Bloom dalam buku Taxonomy of Educational Objectives, Handbook 1: Cognitive Domain yang pertama kali terbit tahun 1954. Kemudian taksonomi ini diperbaiki oleh Anderson, Krathwohl, dan kawan-kawan pada tahun 2001. Sebab itu, kecakapan berpikir aras tinggi dimaknai sebagai tingkat dimensi proses kognitif di kepala seseorang. Dalam hal ini dimensi proses kognitif Bloom dibelah jadi dua — belahan pertama dianggap berpikir aras rendah dan belahan kedua diperlakukan berpikir aras tinggi dari enam dimensi proses kognitif ala Bloom.
Penafsiran dan pemaknaan berpikir aras tinggi dengan model proses kognitif Bloom tersebut dijadikan dasar atau landasan pendidikan, pembelajaran, dan pelatihan — dalam hal ini lembaga pendidikan dan lembaga pengembangan sumber daya manusia (HRD) seolah menjadi “juru bicara” atau agen model kecakapan berpikir aras tinggi ala model kognitif Bloom. Lembaga pemerintah dan swasta terkait, lembaga pendidikan khusus sekolah, lembaga diklat, organisasi pendidik dan tenaga kependidikan (khususnya organisasi) guru menjadi agen utama kecakapan berpikir aras tinggi tersebut. Bahkan guru, widyaiswara, dan penulis buku terkait bisa dibilang sebagai promotor model pikir kognitif ala Bloom tersebut.
Di luar model berpikir kognitif Bloom, ada berbagai model berpikir lain yang dapat dikategorikan sebagai model berpikir aras tinggi, misalnya model berpikir kritis, berpikir kreatif, berpikir inovatif, berpikir pemecahan masalah, dan atau berpikir desain. Edward de Bono, Kendal dan Marzano, Dyers, Forum Ekonomi Dunia, dan UNECO, misalnya, sudah menawarkan model berpikir aras tinggi lain, yang berbeda dengan model berpikir kognitifnya Bloom. Dibandingkan dengan model Bloom yang cikal bakalnya tahun 1950-an, tentu saja model bepikir Marzano, de Bono, dan Dyers lebih kekinian dan mutakhir. Namun, model-model berpikir aras tinggi tersebut tak populer dan tak menjadi dasar kebijakan pendidikan, pembelajaran, dan pelatihan di Indonesia.
Indonesia begitu setia “memeluk” model dimensi proses kognitif Bloom (yang dimodifikasi sedemikian rupa bila ada angin baru) daripada mencoba model berpikir aras tinggi yang lain, misalnya model berpikir inovatifnya Dyers atau model berpikir desainnya Hasso Plattner Institute atau Walter Breener dkk. Tak heran, Indonesia seperti memegang teguh adagium teh botol Sosro: apa pun zamannya, apa pun tantangannya, taksonomi Bloom-lah obatnya. Atau kalau meminjam judul sebuah novel lama bertajuk Tak Putus Dirundung Malang, dalam hal model berpikir, Indonesia tergolong tak putus dipeluk model berpikir kognitif Bloom. Di tengah era disrupsi yang digaungkan di mana-mana di Indonesia, dan segala sesuatu tengah dilanda disrupsi, ada yang tak terdisrupsi di Indonesia dan hanya satu yang tak dihempas disrupsi di Indonesia, yaitu model berpikir kognitif Bloom (yang direvisi Anderson dan Krathrowhl).
Sementara itu, korporasi digital kian maju merangsek dengan andalan model berpikir desain. Beberapa start-up meraksasa jadi unicorn atau decacorn dengan pijakan model berpikir desain. Begitu juga negara-negara tertentu, melejit dan menguasai pasar berkat model bisnis baru –yang tentu memakai model berpikir baru. Misalnya, model bisnis minyak Cina yang baru, mengguncang kemapanan Arab Saudi dan lain-lain karena Arab Saudi pakai model bisnis lama, yang tentu saja pakai model berpikir lama juga. Ini semuanya menandakan perubahan mendasar dan berarti memerlukan model berpikir baru, bukan hanya terfokus pada jenis dan jenjang kecakapan berpikir tertentu, yang model berpikirnya ya sama saja dengan yang lama. Entahlah…
Ditulis oleh: Prof Djoko Saryono. 12/3/2020