Masuknya mata pelajaran agama Islam dan agama lainnya ke dalam kurikulum pendidikan Indonesia, tidak terlepas dari peran sosok Mahmud Yunus. Upaya untuk memasukkan mata pelajaran agama Islam ke dalam kurikulum sekolah-sekolah pemerintah diperjuangkan oleh Mahmud Yunus setelah kemerdekaan. Awalnya, usulan ini diterima oleh Jawatan Pengajaran Sumatera Barat, mulai diterapkan 1 April 1946 di seluruh Sumatera Barat. Mahmud Yunus dipercaya menyusun kurikulum dan menentukan buku-buku pegangan untuk keperluan pengajaran.
Saat Mahmud Yunus pindah tugas ke Pematangsiantar menjadi Kepala Bagian Agama Islam Jawatan Agama Provinsi Sumatera pada November 1946, kembali mengusulkan mata pelajaran agama Islam ke dalam kurikulum kepada Jawatan Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan Provinsi Sumatera. Usul ini mendapat persetujuan pada Maret 1947 dan sejak saat itu, pendidikan Islam masuk secara resmi ke dalam kurikulum sekolah-sekolah pemerintah di seluruh Sumatera.
Pada tahun 1950, Mahmud Yunus mengusulkan kepada pemerintah pusat untuk menyamakan kurikulum pendidikan Islam yang diterapkan di Sumatera dengan kurikulum nasional. Kemudian usulan ini dibahas oleh Mr. Hadi dari Departemen Pendidikan dan Pengajaran dan Mahmud Yunus dari Departemen Agama. Akhirnya pada 20 Juanuari 1951, pendidikan agama mulai diajarkan untuk setiap jenjang pendidikan sekolah-sekolah negeri dan swsata mulai dari sekolah rendah, sekolah lanjutan tingkat pertama dan atas, dengan jam pengajaran selama dua jam per minggu.
Sosok Mahmud Yunus
Mahmud Yunus (ejaan lama: Mahmoed Joenoes) merupakan adalah anak pertama pasangan Yunus bin Incek dari suku Mandailing dan ibunya bernama Hafsah dari suku Chaniago, yang lahir pada 10 Februari 1899 di Nagari Sungayang, berjarak 7 km dari Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Mahmoed Joenoes telah memperlihatkan minat terhadap ilmu agama sejak kecil dan belajar Al-Qur’an di Surau Talang kepada kakeknya dan khatam dalam usia tujuh tahun.
Sekolah Dasar pertama yang ia masuki adalah sebuah Sekolah Desa di Sungayang pada tahun 1908, namun pada tahun keempat pindah ke Madrasah School pimpinan Muhammad Thaib Umar di Surau Tanjung Pauh. Pada umur 14 tahun ia dipercaya menjadi mudir (guru bantu) di Madrasah School dan ini merupakan pengalaman pertama mengajar. Bahkan ketika berlangsung rapat besar ulama Minangkabau pada tahun 1919 di Surau Jembatan Besi, Padang Panjang, Mahmud Yunus hadir mewakili Muhammad Thaib Umar untuk meresmikan berdirinya Persatuan Guru Agama Islam (PGAI), perkumpulan ulama yang bergerak di bidang pendidikan.
Setelah beberapa lama mengajar di Madrasah School, tahun 1924 Mahmud Yunus mendapat kesempatan belajar di Universitas al-Azhar, Kairo untuk mempelajari ilmu ushul fiqh, ilmu tafsir, fikih Hanafi dan sebagainya. Setelah lulus dari al-Azhar yant cuma setahun, Mahmud melanjutkan studinya guna mempelajari ilmu pengetahuan umum dengan masuk ke universitas Darr al-Ulum, Mesir dan lulus tahun 1929, dengan memperoleh diploma spesialisasi di bidang pendidikan.
Sekembali di kampung halamannya pada awal tahun 1931, Yunus mulai memperbarui Madras School di Sungayang dengan menerapkan sistem klasikal sebagaimana lazimnya sekolah-sekolah pemerintah. Lewat Madras School, ia mengenalkan pembagian jenjang madrasah yang dikenal di Indonesia saat ini: Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah.
Pada tahun 1932, Yunus meninggalkan Sungayang untuk memimpin sekolah Normal Islam School (NIS) atau Kulliyyatul Muallimin Al-Islamiyyaah di Padang yang didirikan PGAI pada 1 April 1931. Sekolah ini merupakan sekolah lanjutan tingkat atas yang dimaksudkan untuk mendidik calon guru agama Islam. Keberhasilannya menerapkan metode-metode baru dalam pendidikan madrasah mendorongnya untuk membuka Sekolah Tinggi Islam (STI) di di Padang yang tercatat sebagai perguruan tinggi Islam paling awal di Indonesia dengan dua fakultas: Fakultas Syariat dan Fakultas Pendidikan Bahasa Arab.
Pada 8 Juli 1945, Sekolah Tinggi Islam (STI) didirikan di Jakarta namun pada 1946, pindah ke Yogyakarta mengikuti kepindahan ibu kota negara dan berganti nama menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) pada 22 Maret 1948. Setelah Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 1950 dikeluarkan, Fakultas Agama UII ditingkatkan menjadi Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) namun, Yunus menolak diusulkan sebagai pengelola dan pengajarnya.
Pada 1 Juni 1957, Departemen Agama mendirikan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) di Jakarta dan Prof. DR. H. Mahmud Yunus diangkat sebagai rektor pertama. Melalui Peraturan Presiden Nomor Tahun 1960 memutuskan mengintegrasikan ADIA dan PTAIN menjadi satu perguruan tinggi agama di bawah Departemen Agama yaitu Institut Agama Islam Negeri (IAIN) yang secara ilmiah memberikan pendidikan serta pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat di bidang ilmu pengetahuan Islam.
Karya Mahmud Yunus
Prof. DR. H. Mahmud Yunus memperoleh gelar doktor kehormatan di bidang ilmu tarbiyah dari IAIN Jakarta atas perjuangannya dalam pengembangan pendidikan Islam di Indonesia, telah menulis lebih dari 75 judul buku yang ditulis baik itu dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Arab. Sebagian besar buku-bukunya saat ini masih dipergunakan untuk keperluan pengajaran madrasah dan perguruan tinggi dan buku pegangan pendidikan agama seperti tiga jilid al-Fiqh al-Wadhih dan tiga jilid at-Tarbiyah wa at-Ta’lim.
Kesehatan Mahmud Yunus mulai menurun pada awal tahun 1970 dan beberapa kali masuk rumah sakit. Pada 16 Januari 1982, Prof. DR. H. Mahmud Yunus meninggal dalam usia 82 tahun di Jakarta. Jabatan terakhir adalah rektor pertama IAIN Imam Bonjol.
Sosok Prof. DR. H. Mahmud Yunus – Padamu Negeri
.
Min numpang Share