Dunia cyber telah memasuki era paling mutakhir, menggeser komunikasi fisik ke tempat yang lebih privat, terkomunalisasi, dan horisontalisasi. Guru primitif yang tidak menyadari perubahan ini, perlahan akan ditinggalkan. Inilah tantangan bagi pemerintah (daerah) dan sekolah untuk mengubah paradigma guru menjadi lebih kredibel dalam mendayagunakan sumber media baru untuk pembelajaran.
Orang tua sejak dini sudah memperkenalkan tablet pada anak-anaknya, karena dinilai lebih edukatif, entertain dan atraktif. Kalau yang lebih edukatif, entertain dan atraktif ini sudah mengakomodir kepentingan anak lalu bagaimana sekolah dapat cepat tanggap untuk menghadapi problematika baru akibat hadirnya media baru seperti social media (socmed) dan social networking (socnet).
Dinamika yang selalu berubah dalam ilmu pengetahuan, tak selamanya langsung bersinergi dengan buku teks. Tiap detik selalu ada peristiwa dalam sosial budaya masyarakat, situasi politik lokal sampai global, sampai gaya hidup artis yang dijadikan pegangan hidup remaja, yang baik jadi buruk, yang buruk jadi baik, dan siswa tidak selalu dapat menangkap hal-hal baru tersebut dengan bijak.
Ironis sekali, jika seorang guru justru melakonkan dirinya persis sebagaimana siswa memaknai perubahan tersebut, tanpa filter, tanpa kritik, dan tanpa pemikiran yang mendalam serta keterhubungannya dengan bidang studi di zaman informasi ini.
Terlebih, sebagaimana data yang dilansir dari Kominfo (2014) bahwasanya pengguna internet di Indonesia hingga saat ini telah mencapai 82 juta orang. Dengan capaian tersebut, Indonesia berada pada peringkat ke-8 di dunia. Dari jumlah pengguna internet tersebut, 80 persen di antaranya adalah remaja berusia 15-19 tahun.
Kalau begitu, bagaimana guru sebagai immigrant technology yang berada di setengah kehidupan purba tanpa socmed dan socnet, dan kemudian harus beradaptasi dengan media baru tersebut dengan kemampuan yang belum dapat dipahami secara baik dan benar, holistik dan komprehensif, dan bahkan memerlukan pelatihan-pelatihan lebih lanjut.
Sungguh berbeda, dengan generasi tahun 2000-an yang belum bisa bobo kalau belum update status di facebook, yang aneh rasanya kalau belum berkicau di twitter, dan yang sering merasa jenuh kalau tiba-tiba sinyal pergi dan tak kembali. Bagi generasi ini, mungkin lebih baik menjadi fakir miskin daripada fakir sinyal, karena kehidupan mereka yang sudah berpindah dari nyata ke maya. Yang riil itu maya, sementara yang palsu itu berada dalam kenyataan.
Di ranah yang berbeda, pendidikan adalah pendorong utama regeneratif ilmu pengetahuan, teknologi informasi dan komunikasi (TIK) memainkan peran penting yang setara karena itu adalah kendaraan untuk membagi pengetahuan ke seluruh dunia tetapi juga dikembalikan dalam umpan balik. TIK membantu pendidik profesional untuk memeriksa kembali beberapa asumsi awal mereka tentang relevansi, kesetaraan, dan efektifitas, jika perlu, membuat perubahan yang dibutuhkan untuk memperkaya kualitas sumber dari mana pengetahuan itu didapatkan pertama kali.
Kompetensi Sosial Guru
Guru lampau yang telah masuk ke dalam dimensi TIK, tentunya sangat mudah memaknai dimensi pembelajaran masa kini. Dengan hanya menggunakan smartphone, tablet, dan laptop, tugas observasi dapat langsung diperlihatkan dalam jejaring sosial atau blog. Bukan hanya siswa dari kelas tersebut yang dapat menikmati hasil observasi, namun seluruh dunia pun bisa menikmati bagaimana cara pandang siswa terhadap satu fenomena.
Ketakutan seorang guru terutama yang biasa terjadi dalam Kelompok Kerja Guru atau KKG salah satunya disebabkan penyelenggaraan KKG yang dilakukan masih belum dapat melepaskan dari sistem birokrasi pemerintah daerah, sehingga menempatkan KKG sebagai wadah pengembangan profesionalisme guru masih tergantung pada keputusan birokrasi yang mempunyai jalur yang sangat panjang dan kadang-kadang kebijakan yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kebutuhan guru setempat.
Dengan demikian KKG kehilangan kemandirian, motivasi dan insiatif untuk mengembangkan dan memajukan lembaganya termasuk peningkatan profesionalisme guru sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi mutu pendidikan nasional.
Dengan persoalan akut yang demikian, sistem pembelajaran holistik berbasis TIK dalam institusi persekolahan memang belum secara merata dapat diterapkan, selain membutuhkan biaya yang sangat besar untuk fasilitas dan berbagai pengembangan teknologi di sekolah lainnya, guru sebagai imigran teknologi pun masih terbatas jumlahnya.
Perubahan ini menyerukan bahwa kesempatan berotonomi kepada sekolah dan guru untuk melakukan terobosan yang dilakukan secara individual (sekolah maupun guru bidang studi tertentu) tanpa menurunkan kinerja dan hasil belajar yang dapat dipertanggungjawabkan
Guru yang telah menyeberang menjadi imigran teknologi harus memperhatikan perihal anak-anak yang telah bermigrasi lebih awal di era digital. Bahwa menurut data statistik dari Population Reference Bureau (2012) itu, sebagian besar dari mereka (sekitar 71%) tinggal di wilayah perkotaan.
Mereka masuk kategori native digital (Prensky, 2001) atau N-Generation (Mabrito & Medley, 2008) yang lahir setelah tahun 1982. Seluruh hidupnya dikelilingi oleh peralatan komputer, videogame, email, internet, dan pesan instan (instant messaging). Cara generasi ini mempelajari pengetahuan juga berbeda. Ada tiga cara belajar mereka, yaitu (Oblinger & Oblinger, 2005):
- Langsung mengalami dan melakukan (experiential learning)
- Kerja tim
- Menggunakan jejaring sosial (social networking)
Tentu saja, kompetensi sosial guru dipertaruhkan dalam suasana yang berbeda jauh dari masa sebelumnya. Ada beberapa perubahan paradigma mengenai kompetensi sosial guru yang bergeser dari dunia fisik ke dunia maya.
Opini: Muhammad Ivan, S.Pd (Staf Asisten Deputi Dikdas, PAUD, dan Dikmas)
Penguatan Kapasitas Kompetensi Sosial Guru