Dalam sebuah negara terdapat lebih dari satu orang atau lebih dari satu kelompok masyarakat. Kelompok ini tentu saja memiliki sejumlah kepentingan sesuai dengan kelompoknya masing-masing. Relasi antar kepentingan kelompok itulah yang kemudian akan melahirkan dua kemungkinan, yaitu kerjasama atau konflik.
Pemaknaan terhadap dua kedua konsep ini, kerap kurang berimbang. Kerjasama dianggap sebagai sebuah hal yang positif, sementara konsep konflik diposisikan sebagai konsep negatif. Padahal, dalam konteks politik dan ilmu sosial, pemaknaan tersebut sangat tidak empirik.
Sebab, kerjasama pun dapat bermakna negatif (ingat KKN), dan konflik pun dapat melahirkan hal yang positif (contoh kasus saling kritik dan mengingatkan). Dengan demikian, konsep konflik dan kerjasama, merupakan konsep politik yang sangat universal dan menjadi ranah analisis politik yang strategis dalam memetakan perilaku politik masyarakat.
Konflik Politik dan Kerjasama Politik
Suatu konflik politik terjadi apabila seseorang atau sekelompok orang berusaha mencegah orang atau sekelompok orang lain mencapai tujuan atau tujuan-tujuan politiknya. Misalnya, suatu organisasi partai bertujuan untuk mendapat suara terbanyak dalam pemilu, namun organisasi politik yang lain pun memiliki keinginan untuk itu.
Adanya perbedaan tujuan tersebut dapat menimbulkan konflik politik. Dan konflik tersebut berupa saling menghalangi atau mencegah yang lain.
Sedangkan yang dimaksud dengan kerjasama politik adalah usaha bersama dua orang atau lebih untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu berkenaan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah dan perwujudannya. Kerjasama sering terjadi apabila tujuan-tujuan akhir dari pelaku politik adalah sama atau pun berbeda-beda tetapi memiliki tujuan yang sama.
Misalnya, suatu partai atau organisasi politik dalam suatu negara memiliki tujuan yang berbeda. Namun demikian adakalanya memiliki tujuan yang sama, seperti meningkatkan partisipasi warga negara dalam politik. Hal ini dapat memungkinkan adanya suatu kerjasama, seperti mengadakan penyuluhan, seminar, dan sebagainya.
Khusus yang terkait dengan analisis gejala konflik dan kerjasama ini, terdapat sejumlah pendapat para ahli yang langsung mengkaitkannya dengan identitas atau hakikat politik itu sendiri. Seperti dikutip A. Hoogerwerf, (1985:46) dalam bukunya Politikologi antara lain:
- Carl Schmitt (1932:26): “Perbedaan politik yang menjadi ciri-ciri, yang menjadi sumber dari tindakan-tindakan dan tema-tema politik, adalah perbedaan antarakawan dan lawan”.
- Gerhard Lehmbruch (1967:17): “Politik adalah perbuatan kemasyarakatan (yaitu perbuatan yang diarahkan kepada kelakuan orang lain) yang bertujuan untuk mengatur secara mengingkat konflik-konflik kemasyarakatan mengenai nilai-nilai (termasuk barang jasmaniah).
- Vernon Van Dyke (1966:2): “Politik terdiri dari pertarungan antara aktor-aktor yang mempunyai keinginan-keinginan yang saling bertentangan mengenai pokok-pokok pertentangan masyarakat.
Berdasarkan pemikiran tersebut di atas, maka dapat dikemukakan bahwa dalam membincangkan masalah politik, masalah konflik dan kerjasama akan menjadi identitas perilaku politik dan gejala sosial yang kerap berdampingan dan menyertainya. Keberadaan sebuah hukum pun, pada dasarnya adalah sebuah upaya untuk mengelola konflik dan kerjasama yang tumbuh di masyarakat.
Konflik dan Kerjasama Politik – Padamu Negeri