Pendidikan interreligi di sekolah dan perguruan tinggi dapat menjadi wacana untuk mencegah terjadinya konflik antar iman. Dengan adanya pendidikan agama yang inklusif akan menghasilkan pribadi-pribadi yang inklusif, yang bukan saja mengenal tata nilai agama sendiri, melainkan juga nilai-nilai agama lain. Apalagi saat ini dalam situasi global, relasi antar pemeluk iman berbeda kian menggejala dan tak terelakkan, pendidikan interreligi merupakan jawaban atas tantangan global selama ini.
Berikut uraian yang ditulis oleh M.Sunyoto yang dimuat di situs antaranews.com dengan judul “Mencegah tragedi konflik antariman” yang secara garis besar membahas masalah pendidikan agama di sekolah dan perguruan tinggi untuk mencegah tragedi konflik antar agama terjadi kembali. Tulisan telah diedit oleh Editor: Aditia Maruli.
Mencegah tragedi konflik antar iman
Sejauh ini, pendidikan agama di sekolah, mulai dari jenjang sekolah dasar hingga perguruan tinggi, di luar program studi keagamaan, dilakukan secara eksklusif. Artinya, seorang siswa atau mahasiswa hanya mempelajari agama yang dianutnya tanpa diperkenalkan agama lain yang dianut oleh temannya yang beragama berbeda.
Pemelajaran (bukan pembelajaran) agama yang demikian tentu menghasilkan pribadi yang eksklusif pula, yang hanya mengenal agamanya sendiri tanpa mau tahu agama orang lain.
Dalam masyarakat yang plural dengan kancah sosial yang mutikultural, tuntutan untuk menghasilkan pribadi-pribadi yang inklusif, yang bukan saja mengenal tata nilai agama sendiri, melainkan juga nilai-nilai agama lain makin dibutuhkan.
Itu sebabnya ada baiknya pendidikan agama di sekolah dan perguruan tinggi mulai dilakukan dengan cara inklusif pula. Setidaknya, untuk siswa, pendidikan interreligi itu dilakukan mulai pendidikan menengah atas.
Ide tentang pemelajaran interreligi itu juga disuarakan oleh Yayah Khisbiyah dari Centre for Dialogue and Cooperation Among Civilisations.
Kenapa pemelajaran interreligi perlu diberikan mulai jenjang sekolah menengah atas? Pasalnya, untuk jenjangan sekolah dasar dan menengah pertama, pemahaman yang kukuh terhadap agama sendiri perlu ditanamkan terlebih dahulu.
Namun, tidak berarti bahwa di jenjang sekolah dasar dan menengah pertama, siswa tidak perlu mengetahui fenomena keberagamaan siswa yang beragama lain.
Pada tataran sekolah dasar dan menengah pertama, siswa cukup diperkenalkan bahwa semua agama mengajarkan kebaikan dan mewajibkan pemeluknya untuk bertenggang kepada pemeluk iman yang lain.
Setelah menginjak bangku pendidikan menegah atas, pendidikan interreligi mulai diperkenalkan.
Tujuan pendidikan semacam ini adalah memberikan pemahaman pada siswa untuk menyadari bahwa kebaikan dan kebenaran bisa bersemayam di semua orang dengan latar belakang agama apa pun.
Dalam situasi global, relasi antarpemeluk iman berbeda kian menggejala dan tak terelakkan, pendidikan interreligi merupakan jawaban atas tantangan global selama ini.
Sesungguhnya dialog antariman di tataran global maupun nasional sudah berjalan cukup intensif. Namun, pada tataran nasional, jangkauannya belum begitu masif dan hanya sebatas pada para aktivis hak asasi manusia yang berfokus pada relasi antarpemeluk agama berbeda.
Mengenai literatur yang bisa digunakan sebagai pegangan untuk pemelajaran intereligi, karya Houston Smith yang bertajuk Agama-agama Manusia, tampaknya perlu dijadikan teks utama.
Dalam buku yang dibaca jutaan pembaca yang ditulis dengan bahasa yang enak dinikmati itu, sang penulis antara lain bernarasi tentang kegairahan manusia di seluruh dunia untuk memuji Sang Maha Pencipta.
Dengan nada yang bersimpati pada semua agama-agama besar yang dianut manusia di bumi, Smith tak hendak mengajak pembacanya untuk bersilang sengketa dalam memperkarakan agama mana yang paling benar dan paling hebat. Semua agama diperlihatkan kedahsyatan transendentalnya.
Dengan membaca teks semacam ini, siswa tentu akan mendapatkan informasi bahwa masing-masing agama mempunyai kekuatan yang tidak bisa diperbandingkan satu sama lain.
Tentu setiap pengiman perlu meyakini bahwa agamanyalah yang paling benar. Di kalangan aktivis yang bergerak di bidang relasi antarpemeluk iman berbeda, kebenaran atas iman sendiri tak mengurangi rasa hormat terhadap pengiman yang berbeda keyakinan.
Rohaniman Franz Magnis Suseno memberikan resep yang mendamaikan soal ini. Katanya, setiap orang harus yakin bahwa agamanyalah yang paling benar; sedangkan tetang kebenaran agama orang lain, serahkanlah itu kepada Tuhan.
Dengan pandangan seperti itu, tidak terjadi saling menghakimi terhadap iman orang lain. Dalam Islam secara implisit seruan yang senada dengan pandangan Magnis itu juga terkandung. Seruan itu antara lain terusung lewat ajaran yang menyatakan bahwa tentang tagwa seseorang, hanya Tuhanlah yang tahu.
Itu sebabnya manusia tidak punya hak untuk menghakimi ketakwaan orang lain. Penghakiman ketakwaan, juga keimanan, seseorang adalah hak eksklusif Yang Mahaadil.
Tentu teks-teks yang bisa dijadikan bahan pemelajaran interreligi bisa juga diambil dari tulisan-tulisan berbagai ahli atau pakar di berbagai bidang keagamaan.
Untuk kalangan Islam, karya Nurcholish Madjid yang bertajuk Islam, Doktrin, dan Peradaban agaknya kompatibel untuk bahan pendidikan interreligi di sekolah-sekolah.
Untuk memperdalam pemahaman siswa tentang nilai-nilai berbagai agama yang diinternalisasikan ke dalam kepribadian, teks tentang biografi dari masing-masing pemeluk iman yang berbeda bisa dijadikan referensi atau rujukan pemelajaran studi interreligi.
Dari rujukan inilah para siswa diperkenalkan para pengiman yang menjadi tonggak sejarah di masing-masing agama yang ada di dunia ini pada masa silam. Buku-buku yang berbicara tentang sosok historis di masing-masing agama bisa ditemukan dalam bentuk biografi.
Kisah kehidupan kaum sufi, kaum zuhud di dunia Islam, kaum asketik di dunia Kristen, Hindu, Buddha, dan lain-lain bisa dijadikan bacaan yang menarik dalam pemelajaran interreligi.
Siswa tentu akan mengambil hikmah, butir-butir kebenaran yang dapat memperkaya pengetahuan. Biografi semacam itu tentu lebih banyak bernarasi tentang perilaku fisik sang tokoh.
Jika hendak memperdalam pengetahuan tentang teologi agama-agama, yang sebaiknya diberikan di tingkat mahasiswa, para pengampu pengajaran interreligi bisa menjadikan kitab suci masing-masing religi sebagai bahan kajian.
Dengan cara demikianlah maka sosok yang inklusif yang menghargai iman orang lain dapat dibangun dan dikembangkan.
Pada masa depan yang makin menuntut keharmonisan dan perdamaian hidup, hadirnya sosok-sosok inklusif dalam jumlah yang masif agaknya sudah menjadi kebutuhan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Pengalaman pedih masa silam yang diakibatkan oleh konflik antariman, baik secara internal sebuah agama tertentu maupun antaragama, tidak boleh dibiarkan terulang kembali. Untuk mencegah kembalinya tragedi konflik antariman itu, pemberian pemahaman yang menimbulkan toleransi dan harmoni perlu diberikan sejak bangku sekolah, antara lain, lewat pemelajaran interreligi.
Pendidikan Inter Religi di Sekolah – Padamu Negeri